Menjadi Manusia Seutuhnya


Kita semua sedang berada di masa sulit. Kita semua sedang berada di masa yang 'tidak normal'. Banyak kegiatan-kegiatan yang selama ini terlihat normal, bahkan dinilai baik, sementara waktu dihentikan terlebih dahulu. 

Kita semua -mungkin- sedang diberi pelajaran oleh Tuhan. Kita semua diminta untuk belajar lagi. Ada dua kemungkinan, pertama karena sudah saatnya kita harus belajar 'materi' tahap selanjutnya. Dan kita dinilai Tuhan telah siap untuk menjadi lebih baik lagi. Kedua, kita mungkin 'sudah lama' tidak belajar lagi. Sehingga kita diingatkan Tuhan untuk berpikir, belajar, dan merefleksikannya lagi. 

Pada intinya, kita semua sedang 'belajar' lagi tentang 'siapa itu manusia'. Mungkin dengan sentuhan yang berbeda, dengan sentuhan makhluk kecil tak kasat mata. Seolah Tuhan ingin memberitau bahwa Manusia adalah makhluk tak berdaya. Tak bisa apa-apa. Bahkan mudah sekali terhempas oleh makhluk kecil sekali bernama corona. Kita sedang diberitau Tuhan bahwa keangkuhan, kesombongan, dan keserakahan itu tak pantas ada di muka bumi ini. 
Corona adalah pembasmi kesombongan dan keserakahan manusia. 

Mari sejenak kita buka mata, buka telinga, dan sejenak kita tutup mulut kita. Kita belajar lagi. Tuhan menciptakan dua mata dan dua telinga, lebih banyak dari jumlah mulut kita. Menandakan bahwa kita manusia, diciptakan untuk lebih banyak 'membaca' dan mendengar daripada 'berbicara'. Lalu, hati dan akal melengkapi kita. Lengkaplah alat belajar manusia. 

Wabah pandemi corona tak pernah kita harapkan kedatangannya. Namun dibalik itu, mungkin Tuhan sedang menunjukkan kita sebuah jalan yang kita minta setiap harinya. Dengan cara ini, sekali lagi, Tuhan sedang menunjukkan kita sebuah jalan untuk menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang dengan segala kemuliaannya, tak pantas untuk menyandang sifat bernama angkuh, sombong dan serakah. 

Sudahkah kita mendengar dan membaca? Sudahkah kita merefleksikannya? Kalau sudah, mari kita terus belajar. Hingga tiba saatnya Tuhan berkata "pelajaran kali ini cukup, hamba-Ku". Lalu kita semua tersenyum melihat kesombongan dan keserakahan yang telah lepas dari diri kita. Kemudian kita kembali menjadi manusia 'lagi'. 

Kita diciptakan untuk saling mencintai, kemudian saling menciptakan senyuman diantara kita . 1 abad silam, RA Kartini pernah berkata "tidak ada sesuatu yang lebih menyenangkan selain menimbulkan senyum di wajah orang lain terutama wajah yang kita cintai". 

Di momen hari Kartini ini, mari sejenak kita baca lagi spirit perjuangan RA Kartini dalam mengembalikan fitrah manusia menjadi manusia seutuhnya, utamanya kalangan wanita. Lalu mari refleksikan, dengan keadaan dunia yang sulit seperti ini. 

Corona adalah kegelapan bagi kita. Namun meyakini bahwa setelah gelap terbitlah terang, adalah cara kita menjadi manusia seutuhnya. Keyakinan seringkali memberi nyawa. Keyakinan bahwa setelah corona akan terlahir manusia-manusia seutuhnya. Manusia yang penuh cinta. 

Tak berhenti disitu, corona seolah datang di waktu yang sangat tak terduga. Umat Muslim sudah diambang pintu bulan mulia. Bulan yang sangat ditunggu-tunggu kedatangannya. Bulan suci Ramadhan. 

Namun, perjalanan kita di bulan Ramadhan mungkin tak akan seperti biasanya. Mungkin sedikit lebih sulit. Tapi semoga tidak. Artinya, kita harus lebih banyak 'berkeringat' untuk belajar di bulan Ramadhan ini, di masa pandemi ini. Dan biasanya hasil akan menyesuaikan dengan 'keringat' yang dihasilkannya. Bahkan lebih. Dan semoga iya. Dengan segala kesungguhan kita belajar. Semoga hasilnya pun memuaskan. 

Puas karena menjadi manusia seutuhnya. Manusia penuh kesadaran bahwa kita hanyalah hamba. Manusia yang saling menciptakan senyuman dan cinta. Lalu, alam pun kembali tersenyum lebar karenanya. 

Harapan kita, semoga pandemi ini segera berakhir seiring dengan kembalinya kita menjadi 'manusia' lagi.  Manusia seutuhnya. Manusia yang selalu belajar menjadi manusia. 

2 komentar untuk "Menjadi Manusia Seutuhnya"

Posting Komentar