Sendiko Dawuh dan Husnudzon Ala Santri




Pendidikan di pesantren bukan hanya mengajarkan literatur-literatur arab klasik atau yang biasa disebut dengan kitab kuning saja. Lebih dari itu, pesantren merupakan lemabaga pendidikan yang komprehensif. Yakni mengajarkan teori sekaligus praktiknya. Pesantren mengharuskan santri-santri untuk belajar sosial dan spiritual sekaligus di samping juga belajar literatur-literatur islam.

Di dalam jiwa santri tertanam akhlak-akhlak baik yang selalu dibiasakan. Baik akhlak kepada diri sendiri, maupun orang lain. tak heran jika santri mempunyai adab yang sudah menjadi adat atau budaya. Diantaranya adalah budaya Sendiko dawuh kepada guru ataupun kiainya.

Sendiko dawuh bukan hanya sekedar kata-kata saja. Lebih dari itu, sendiko dawuh adalah bentuk totalitas ketaatan santri kepada gurunya. apapun yang diperintahkan atau dikatakan oleh guru akan dilakukan oleh santri tanpa harus memikirkan kembali. Hal ini sudah menjadi keyakinan bagi para santri akan pengaruh ketaatan pada guru terhadap keberkahan ilmunya. Sehingga sendiko dawuh memang benar-benar harus tertancap dalam hati seorang santri. Selain itu, sendiko dawuh adalah salah satu bentuk sikap selalu husnudzon kepada guru. Tidak mencurigai, ataupun berprasangka buruk kepada guru. Sehingga sikap husnudzon kepada guru adalah hal penting yang harus dilakukan oleh seorang santri.

Mengenai pentingnya selalu husnudzon kepada guru, Imam Ghozali dalam kitab Bidayah al-Hidayah mengatakan bahwa salah satu akhlak seorang santri kepada gurunya adalah tidak berprasangka buruk terhadap apa yang dilakukan atau dikatakan oleh gurunya, karena seorang guru lebih tau rahasia tentang apa yang dilakukan.

Untuk bisa selalu sendiko dawuh bukanlah hal yang mudah. Nabi Musa pun pernah tidak lulus ujian sendiko dawuh tatkala sedang berguru kepada Nabi Khidir. Dimana pada saat itu mereka membuat kesepakatan bahwa Nabi Musa dilarang untuk bertanya tentang apa yang dilakukan oleh Nabi Khidir nantinya. Namun, karena Nabi Musa yang sedikit kurang bersabar, akhirnya Nabi Musa gagal untuk belajar kepada Nabi Khidir sampai tuntas. Karena Nabi Musa menanyakan tentang apa yang dilakaukan oleh Nabi Khidir yang menurut Nabi Musa tidak sesuai dengan Syari’at.

Hal ini menjadi pelajaran untuk kita bahwa untuk selalu sendiko dawuh diperlukan adanya sikap husnudzon. Dan selalu husnudzon adalah hal yang tidak mudah jika tidak dibiasakan. Tak heran, ketika saya sowan kepada guru saya, KH. Jalal Suyuthi (pengasuh Pondok pesantren Wahid Hasyim) beliau berpesan bahwa jika ingin mendapat ilmu yang berkah dan manfaat, usahakan selalu ber-huznudzon kepada siapapun.

Untuk itu, sendiko dawuh dan husnudzon adalah tingkat ketaatan yang tertinggi. Tentunya, bukan hanya kepada guru saja. sendiko dawuh dan husnudzon harus selalu dibisakan kepada orang tua, teman, tetangga dan yang paling menjadi keharusan adalah sendiko dawuh dan husnudzon kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (الحجرات-12)



Wallahu a’lam…


Tidak ada komentar untuk "Sendiko Dawuh dan Husnudzon Ala Santri"