Prasangka
Sumber Gambar: Liputan6.com |
Tak seperti biasa, siang ini cuaca sangat tak bersahabat. Matahari
seolah telah mendekat beberapa meter ke bumi. Panas sekali. Aku lihat di gawai
pintarku, cuaca menunjukkan angka 38 derajat celcius. Belum lagi lalu lalang
bis di terminal ini yang mengeluarkan asap-asap kotornya.
Untuk sedikit meyejukkan diri, aku siramkan sisa air mineral botol
yang kubawa. Byuuurrr… , sejuk sekali rasanya. Kesejukan dan kebahagiaan ternyata
sesederhana ini. Cukuplah untuk sejenak menyejukkan muka.
Arloji mungilku telah menunjukkan pukul setengah 1, setengah jam
lagi aku akan memulai perjalanan jauh, perjalanan yang harus diawali dengan air
mata. Penggembaraan panjang dan mungkin akan melelahkan. Tapi sebagai lelaki,
sudah seharusnya aku melakukan perjalanan ini. apa kata tetanggaku jika aku
sebagai lelaki hanya menghabiskan waktu di atas kasur. Perjalanan ini
keniscayaan bagi lelaki yang baru menginjak usia dewasa seperti aku.
Oh, aku baru ingat, aku belum sholat. Anak macam apa aku ini, baru
beberapa jam yang lalu ibu menasehati aku untuk tidak sekalipun melupakan
sholat, tapi aku sudah hampir lupa. Ah, ibu, aku sudah rindu sekali bu. Setua
apapun usiaku, aku masih selalu menjadi anak kecil di matamu bu.
Bergegas aku mencari mushola di sudut terminal ini. beberapa menit
kemudian kutemukan tempat itu. Kalau tidak ada papan penunjuknya, mungkin aku
tidak akan mengetahui kalau ini musholla. Maklum, seumur-umurku baru pertama
kali ini aku singgah di terminal kota ini.
Selepas sholat bergegas aku menuju bis yang akan membawaku ke kota
seberang nun jauh sana. Suasana di dalam bis masih sedikit lengang. Hanya
sekitar 10 penumpang. Aku mengambil posisi tempat duduk di dekat jendela bagian
tengah. Tidak di barisan depan juga tidak dibagian belakang.
Sekitar 10 menit setelah itu, bis pun berangkat. Aku melepas
pandangan jauh. Kota kecil tempat kelahiranku akan aku tinggalkan. Aku pergi
hanya untuk merasakan nikmatnya pulang. Aku pergi untuk kembali.
Sepanjang perjalanan selalu terasa pelukan ibu, terngiang-ngiang
nasihat ibu. Nasihat sederhana, tapi buatku itu senjata. Nasihat sederhana,
tapi buatku itu berharga. Karena bagiku tak ada bekal paling berharga bagi
setiap perantau selain doa dan nasihat orang tua.
Baru beberapa menit bis berjalan, kembali bis berhenti. Ternyata
ada penumpang yang naik. Seorang laki-laki paruh baya. Dilihat dari
perawakannya, nampaknya dia orang baik.
“Boleh duduk disini, dik?” tanyanya kepadaku
Awalnya aku heran, sebenarnya masih banyak kursi yang kosong, tapi
mengapa laki-laki ini memilih duduk di sampingku. Seketika aku mengangguk saja.
“Terimakasih, dik” ia tersenyum padaku, lalu kubalas senyumnya.
“adik tidak usah takut, saya hanya ingin ada teman ngobrol”
Aku mengangguk tersenyum. Seketika teringat lagi nasihat ibu, “Nak,
kamu harus hati-hati, jangan mudah percaya dengan orang yang baru dikenal
apalagi yang tidak kamu kenal. Meskipun ia keliatannya baik, tapi tetap harus
hati-hati”. ah ibu, mengapa aku sudah sangat rindu.
“adik mau kerja?” tiba-tiba laki-laki ini membuyarkan lamunanku
tentang ibu.
“eh, iya, pak” jawabku
“Kerja apa, dik?” tanyanya lagi.
“Belum tau pak”
Ya, sudah menjadi kebiasaan, di kampungku, setiap laki-laki
menginjak usia dewasa, kalau tidak bertani, ya merantau ke kota seberang untuk
mencari mata pencaharian. Bahkan ketika belum tau nanti di kota seberang mau
kerja apa. Yang terpenting sudah berani merantau. Prinsip di kampungku, siapa
yang berani merantau, ia yang akan kaya. Dan memang, banyak warga yang meratau
yang akhirnya bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya di kampung, bahkan
berlebihan.
“Di kota harus hati-hati dik, apalagi adik baru pertama kali
merantau. Di kota itu banyak penjahat. Padahal kalau dilihat dari penampilan,
mereka terlihat orang-orang baik. penjahat di kota itu kebanyakan berdasi dek,
bahkan ada yang berkopiah.”
Aku hanya mengangguk-ngangguk saja mendengarkannya.
“Penjahat di kota lebih
kejam. Mereka bisa membunuh tanpa senjata apapun. Bahkan bisa membunuh bukan
dengan tangannya sendiri.”
Aku masih hanya mengangguk saja
dan dia pun melanjutkan pembicaraannya.
“Dik, di kota, jangan mudah percaya dengan orang yang baru dikenal,
apalagi yang tidak dikenal, harus selalu waspada.”
Kali ini aku menoleh kepadanya dan langsung teringat ibu lagi.
Kalimat itu mirip nasihat ibu sebelum aku pergi.
“Bapak mau ke kota?” kali ini aku beranikan diri untuk bertanya.
“tidak dik, saya hanya sampai pasar depan situ.”
“Bapak jualan di pasar?” tanyaku lagi.
“Saya hanya kuli di pasar, dik.” Jawabnya.
Aku mengangguk. Dalam hatiku, bapak ini orang baik. terlihat dari
penampilannya yang tidak menunjukkan bahwa dia jahat sedikitpun.
“sesibuk apapun, jagan sampai tinggalin sholat dik, dan kalau sudah
melaksanakan sholat berarti adik sudah harus siap menjadi orang baik buat
siapapun. Setidaknya kalau adik tidak bisa berbuat baik, jangan sampai berbuat
jahat atau menyakiti siapapun.”
Aku mengangguk dan meresapi perkataannya. Bapak ini benar-benar
orang baik.
“dik, satu lagi, meskipun begitu, jangan sampai adik merasa sudah
baik. terus saja berbuat baik. jangan sampai merasa lebih baik dari siapapun.
Adik harus bersedia belajar dari siapapun. Bahkan dari penjahat sekalipun.”
“baik, pak. Terimakasih banyak pak nasihatnya” kali ini aku
menjawabnya
Kembali aku teringat ibu. Aku ingin bercerita ke ibu kalau aku
bertemu dengan bapak-bapak yang baik hati.
“dik, saya turun dulu. Hati-hati di jalan. Maaf kalau bapak ada
salah ya.”
Ia beranjak dari tempat duduk. Dan tersenyum ke aku. Aku membalas
senyumnya.
Tak berselang lama, bis berhenti untuk menurunkan laki-laki itu.
Dalam hati aku yakin, masih banyak orang-orang baik di dunia ini. Jadi aku
tidak perlu khawatir.
***
Di tengah perjalanan, tiba-tiba aku ingin mengabari ibu. Namun,
gawaiku yang aku simpan di saku baju tiba-tiba hilang. Aku coba cari di tasku
barang kali aku lupa menyimpannya, tetap saja tidak kutemukan.
Pikiranku langsung terbang ke laki-laki tadi. Jangan-jangan, dia,
yang mengambil gawaiku. Jangan-jangan dia pencopet. Ya Tuhan, kenapa aku tidak
mendengarkan nasihat ibu untuk waspada dengan orang yang tidak dikenal.
Ah, aku jadi frustasi. Aku ingin pulang kembali ke kampung halaman
yang tenang tanpa pencuri dan pencopet.
Ibu.. aku rindu..
***
“Bang, Bang, sudah sampai kota bang”
Aku terbangun, kernet itu membangunkan aku. Syukurlah, ternyata
tadi hanya mimpi saja. Aku periksa semua barang-barangku, masih utuh. Gawaiku
juga masih di saku bajuku seperti semula.
Syukurlah…
Tidak ada komentar untuk "Prasangka"
Posting Komentar