Karya: Hasil Romantisme Pembelajar dengan Keilmuan
Jika kita mau mempelajari, bagaiamana ulama'-ulama' klasik sangat produktif untuk berkarya, jawaban pertamanya adalah, karena semangat belajar mereka.
Setiap ulama' memiliki catatan sejarah perjalanan panjang dalam menggembara ilmu. Perjuangan mereka dalam mencari pengetahuan tak mudah, apalagi ulama'-ulama' klasik hidup di zaman yang belum ada teknologi secanggih sekarang ini.
Cinta memang benar-benar membuat lelah tak terasa, lapar dan dahaga pun tak dirasa. Mungkin memang benar, ada 2 orang yang tak pernah kenyang di dunia ini, yaitu orang yang mencari harta dan orang yang mencari ilmu. Keduanya tak pernah merasakan puas. Semakin dicari semakin tak bisa berhenti. Bedanya, integritas antara keduanya. Sudah jelas, tidak perlu ada pertanyaan mana yang lebih mulia.
Kita tahu bagaimana Imam Bukhori berjalan ratusan kilo bahkan ribuan kilo untuk meneliti satu hadits saja. Sedangkan ribuan hadits telah diriwayatkannya. Kita juga tahu bagaimana Imam Syafi'i sejak masa mudanya sudah haus akan ilmu pengetahuan. Kita juga tau Imam Nawawi denga usianya yang hanya 40 tahun sudah melahirkan banyak karya besar karena usianya dihabiskan untuk belajar. Bahkan ada riwaya yang menyebutkan bahwa beliau tak sempat untuk menikah.
Ulama'-ulama' klasik mengajarkan kita tentang pentingnya ilmu pengetahuan untuk menjadi manusia seutuhnya.
Kedua, ulama' klasik selalu menghormati shohibul 'ilm, gurunya. Mereka mengajarkan kita bahwa tidak ada guru yang tak pernah berguru, meskipun keduanya adalah sama-sama guru. Kita tahu, Imam Syafi'i dan Imam Malik adalah seorang murid dan guru. Namun keduanya akhirnya menjadi pelopor madzhab. Kita juga tau cara ta'dhim Syekh Zainuddin Al-Malibary, -pengarang kitab Fathul mu'in- kepada gurunya, Syekh Ibnu Hajar Al-haitamy. Beliau sering menyebut gurunya dengan sebutan "Syaikhuna" di dalam Fathul Mu'in. Dan karena ini, ulama' fiqih bersepakat, jika Sykeh Zainuddin menyebutkan "Syaikhuna", maka yang dimaksud adalah Syekh Ibnu Hajar Al-Haitamy. Ini mengajarkan kita tentang cara takdhim kepada guru adalah dengan bangga dan tidak lantas melupakan jasa-jasa gurunya.
Dan masih banyak cerita-cerita perjalanan ulama'-ulama' dalam mencari ilmu. Yang semunya bisa kita ambil pelajarannya. Tidak harus meniru caranya. Yang harus kita tiru adalah bagaimana para Ulama' mengekspresikan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan.
Apalagi dengan segala kemudahan yang kita rasakan di zaman serba teknologi ini. Kalau tidak kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk memperoleh pengetahuan setiap harinya, maka kita rugi. Kita akan kalah dengan waktu. Kita akan tertinggal jauh dari peradaban.
Menjadi pembelajar itu nikmat. Diberi rasa untuk mencintai ilmu adalah anugerah yang luar biasa. Apalagi jika diberi kemampuan untuk berkarya.
Berkarya bisa dengan banyak hal. Berkarya tak harus menghasilkan cipta tulisan dan sebagainya. Mengajar kepada orang yang belum tahu tentang apa yang kita tahu, juga disebut karya. Menjadi orang yang bisa dicontoh banyak orang juga disebut karya. Berbuat baik kepada orang lain karena pengetahuan kita tentang kebaikan, juga disebut karya. Karena menurut saya, semua output dari proses yang bernama belajar adalah karya. Pembaca boleh berbeda pendapat tentang ini.
Namun satu hal yang harus dicamkan dari seorang pembelajar adalah, tidak ada kata berhenti dalam belajar, walaupun kita sudah menghasilkan karya.
Semangat belajar harus lebih besar dari semangat kita berkarya. Semangat kita belajar harus lebih besar dari semangat kita mengajar. Semangat kita membaca dan merefleksikannya harus lebih besar dari semangat menulis. Karena hemat saya, berkarya tanpa diimbangi dengan input pengetahuan, seringkali hanya akan menghasilkan kesombongan.
Dan terakhir, sehebat apapun kita, sepintar apapun kita, perasaan menjadi orang yang lebih baik dari guru harus dibuang sejauh-jauhnya. Dalam tradisi keilmuan Islam, akhlak adalah prioritas.
Tidak ada komentar untuk "Karya: Hasil Romantisme Pembelajar dengan Keilmuan"
Posting Komentar