Akhlak dan Ilmu: Satu Kesatuan
Membincang tentang akhlak, kita semua
setuju jika akhlak adalah hal utama yang harus ada dalam kehidupan manusia.
Dalam semua bidang kehidupan, akhlak menjadi unsur terpenting. Baik dalam
bidang sosial, pendidikan, politik, bahkan ekonomi. Namun sayangnya, tak semua nilai-nilai
akhlak bisa diterapkan secara komprehensif dalam berbagai bidang kehidupan
tersebut.
Keserakahan manusia untuk mendapatkan
apa yang mereka inginkan seringkali mengaburkan nilai-nilai akhklak yang
harusnya menjadi pondasi kehidupan. Akhlak seringkali kalah dengan nafsu.
Dalam aspek lain, ternyata jika kita hanya
mengandalkan akhlak saja, justru membuat kualitas kehidupan kurang begitu baik.
Ini terjadi karena ada hal lain yang menjadi pondasi kehidupan manusia yang
tidak bisa dipisahkan dengan akhlak. Yaitu Ilmu yang tidak melubuk dalam hati
manusia.
Entah apakah pendapat saya ini
terbalik atau tidak. Yang jelas lewat tulisan ini saya ingin mengutarakan bahwa
akhlak dan ilmu adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ilmu tanpa akhlak
membuat manusia runtuh harga dirinya. Sedangkan akhlak tanpa ilmu, membuat manusia
kurang berkualitas hidupnya dan bahkan bisa membahayakan.
Yang terakhir ini mungkin pembaca
bertanya-tanya. Bukankah al-adabu fauqo al-‘ilmi? (adab diatas ilmu). Jadi,
bukankah integritas akhlak harus lebih tinggi dari ilmu? dan, bukankah tak
menjadi masalah jika orang kurang berilmu namun akhlaknya baik?.
Tentu, saya tak akan menyalahkan
pertanyaan tersebut. Namun kembali lagi, akhlak dan ilmu harus berjalan
seiringan. Jangan sampai karena keegoisan kita mementingkan akhlak membuat kita
malas untuk belajar dan mencari ilmu. Karena dalam benak kita sudah tertanam
bahwa tidak berilmu itu tidak masalah, asalkan akhlaknya baik.
Baik, saya ingin membawa pembaca pada
suatu kasus. Di sebuah klinik pribadi seorang dokter menemukan ada dua pasien. Pasien
yang pertama merupakan gurunya, dan pasien yang kedua merupakan orang lain.
Namun pada saat itu, pasien yang kedua harus mendapatkan penanganan terlebih
dulu karena lebih darurat. Tentu jika dokter tersebut hanya menggunakan akhlak
tanpa ilmu prioritas, dokter akan mendahulukan gurunya. Dan akhirnya membuat
pasien yang kedua tersebut dalam keadaan yang lebih berbahaya.
Dalam kasus lain saya perah dengar di
pengajian Gus Baha di Jogja. Beliau menungkapkan bahwa mengetahui tentang hukum
halal haram itu lebih didahulukan dari akhlak. Kita bisa tau bahwa senyum
adalah akhlak yang baik. Namun apakah sama baikmya denga senyum yang dilakukan
oleh PSK kepada pria hidung belang? Tentu
senyum yang seperti justru dilarang.
Jadi pada intinya, Ilmu itu harus
diimplementasikan dengan akhlak. Karena memang benar sepintar apapun seseorang
jika tidak mempunyai akhlak tentu tak ada gunanya. Namun juga sebaliknya,
akhlak juga harus dingelmuni. Agar prinsip-prinsip syari’at pun tidak
kabur karena akhlak yang sebenarnya mulia tersebut.
Dan terakhir, bahwa prinsip akhlak
adalah harus dilandasi dengan Iman kepada Allah, dilandasi dengan ilmu. Jangan sampai
kita berbuat baik kepada orang lain, namun ketika kita tidak dihargai dengan
orang tersebut justru kita tidak terima. Pertanyaannya, dia berakhlak karena
Allah atau hanya kepentingan transaksional?
Tidak ada komentar untuk "Akhlak dan Ilmu: Satu Kesatuan"
Posting Komentar