Keseimbangan dalam Beribadah
![]() |
Sumber: bincangsyariah.com |
Pada dasarnya, baik hubungan vertikal maupun horizontal, muaranya sama, yakni kepada Allah SWT. Tidak ada dikotomi di dalamnya. Saat kita membantu orang lain, berbuat baik kepada orang lain, jika semua itu dilakukan dengan ikhlas karena Allah, maka itu sama seperti ibadah langsung kepada Allah.
Bahkan banyak juga yang menerangkan bahwa pahala ibadah sosial seringkali melebihi pahala ibadah spiritual karena dalam ibadah sosial bukan hanya melibatkan hamba dengan Allah saja, tetapi juga melibatkan makhluk-makhluk Allah yang lain. sudah sangat banyak kisah-kisah yang menceritakan bahwa seseorang masuk surga karena membantu makhluk lain.
Dalam beribadah –baik ibadah sosial maupun spiritual- tentunya dibutuhkan ilmu terlebih dahulu, karena beribadah tanpa ilmu akan berbahaya. Seperti dalam bait yang sangat terkenal
وكل من بغير علم يعمل # أعماله مردودة لاتقبل
Setiap orang yang beramal (termasuk beribadah) tanpa ilmu, maka amalnya ditolak (tidak diterima).
Itulah mengapa setiap muslim “sangat” diwajibkan untuk mencari ilmu. Dalam haditsnya
طلب العلم فريضة غلى كل مسلم و مسلمات
Lafadz فريضة kalau dalam ilmu nahwu merupakan shighot mubalaghoh (pernyataan berlebih-lebihan) maknanya bukan hanya wajib, tetapi “sangat diwajibkan”. Sehingga sangat besar sekali pahala orang yang mecari ilmu dengan niat yang ikhlas.
Di dalam kitab Maroqi al-Ubudiyah karya Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani diterangkan bahwa orang yang beribadah tanpa ilmu itu seperti pohon tak berbuah.
Dalam mencari ilmu, tentunya harus melalui proses terlebih dahulu. Di dalam kitab yang sama dijelaskan bahwa dalam mencari ilmu kita harus tau bahwa hidayah -yang menjadi buahnya ilmu- itu mempunyai permulaan dan akhiran. Permulaan ini meliputi syari’at dan thoriqoh, sedangkan akhiran yang dimaksud adalah hakikat. Sehingga seseorang yang mencari ilmu untuk mencapai tingkat yang paling akhir (hakikat), maka harus mampu melewati permulaan terlebih dahulu yakni syari’at dan thoriqoh.
Syari’at itu ibarat Bahtera, thaoriqoh ibarat lautnya, dan hakikat ibarat mutiara yang ada di dasar laut. Untuk mendapatkan mutiara maka kita harus mempunyai bahtera dulu, tak cukup hanya mempunyainya, kita juga harus mampu mengendalikannya untuk melewati laut dan menyelaminya.
Ada juga yang mengibaratkannya seperti buah kelapa. Syari’at ibarat kulitnya, thoriqoh ibarat daging kelapanya, dan hakikat ibarat santan yang dihasilkan. Untuk memperoleh santan, kita harus memecahkan kelapa terlebih dahulu, kemudian menumbuk dan memeras daging kelapanya.
Ada yang bilang bahwa syari’at itu ibadah, ini yang dilakukan oleh orang-orang awam, sedangkan thoriqoh itu ‘ubudiyah, ini yang dilakukan oleh orang-orang Khosh, dan Hakikat adalah ‘Ubudah, ini yang dilakukan oleh orang yang Khosh al-Khowash.
Hingga pada akhirnya, orang yang beribadah dengan ilmu akan mecapai keseimbangan antara Syari’at dan hakikat. Tidak hanya menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah, akan tetapi kita juga akan tau mengapa Allah memerintahkan kita beribadah, kita akan tau rahasia-rahasia asma Allah, dan hal ini bisa dicapai yakni dengan Thoriqoh sembari tetap menjalankan syari’at dengan sungguh-sungguh. Karena syari’at tanpa hakikat itu kosong, tidak ada isinya, sholat akan hanya jadi gerakan-gerakan saja, puasa hanya akan mendapat lapar dan haus saja. Sedangkan hakikat tanpa syari’at juga tidak berguna, akan sia-sia.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba yang senantiasa bisa melaksanakan syari’at-Nya, dan mencapai titik pengetahuan hakikat-Nya, baik dalam ibadah spiritual maupun ibadah sosial.
WaLlahu a’lam.
Tidak ada komentar untuk "Keseimbangan dalam Beribadah"
Posting Komentar