Islam dan Sikap Literasi
![]() |
Ilustrasi: Santri Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta yang sedang mengikuti pengajian bandongan (Foto: IG@asramaannajah) |
Islam merupakan agama yang sempurna. Semua aspek kehidupan sudah diatur rapi oleh agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini. Mulai dari aspek pendidikan, ekonomi, kesehatan, politik, hingga aspek sebelum dan sesudah kehidupan.
Islam juga adalah agama yang penuh ilmu dan pengetahuan. Allah menurunkan suatu pedoman untuk umat-Nya yang disampaikan oleh utusan-Nya, Nabi Muhammad Saw. Yakni berupa kitab suci Al-Qur’an dimana jika kita mau menyelaminya kita akan menemukan betapa luas jagad ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini.
Bila ditarik mundur sekitar abad pertengahan (650-1250 M), ketika itu, dua kerajaan besar yakni kerajaan Umayyah dan kerajaan Abbasiyah pernah membawa Islam menjadi pusat peradaban dunia. Ketika masa bani Umayyah, aspek militer, sosial, ekonomi dan arsiterktur mengalami kejayaan.
Menginjak masa kerajaan Abbasiyah, Islam mencapai masa kejayaan terutama dalam ilmu pengetahuan. Islam menjadi kiblat peradaban di dunia kala itu. Banyak tokoh muslim yang menjadi ilmuwan di berbagai bidang.
Al Ghazali, Al Kindi, Al Farabi dan Ibnu Sina, adalah diantara tokoh filsuf muslim kala itu. Dalam bidang kedokteran diantaranya ada Jabbir bin Hayyan dan Ar-Razi. Lalu ada Al Farazi, Al-Ghattani dan Al-Farghoni yang dikenal sebagai ilmuwan Astronomi. Serta Al-Khawarizmi yang dengan konsep Aljabarnya berhasil membuatnya dikenal sebagai ilmuwan matematika. Serta banyak lagi tokoh muslim lainnya.
Lalu muncul pertanyaan, mengapa Islam bisa jaya kala itu?. Jawabannya ringan, yaitu karena tingkat kesadaran akan pentingnya literasi oleh umat Islam pada masa itu sangat tinggi. Rasa ingin tau yang pada akhirnya bermuara dengan melakukan penelitian dan riset berhasil membawa Islam menjadi pusat peradaban dunia. Kesadaran umat Islam untuk terus membaca dan menulis serta mendiskusikannya berhasil membuat Islam gemilang. Meskipun pada akhirnya, Islam mengalami kemuduran karena konflik-konflik politik kala itu.
Ribuan karya berhasil dilahirkan dari rahim zaman keemasan Islam. Hingga sampai kepada kita saat ini yang hanya tinggal menikmati saja. Bahkan sebagian kita tak mengenal atau justru tak tau bahwa Islam pernah menjadi pusat peradaban dunia berkat ilmu pengetahuan. Pemikiran kita saat ini seringkali silau dengan sinar yang diciptakan oleh barat. Hingga kita tak bisa melihat sinar Islam kala itu.
Memang harus kita akui, dunia barat memang sedang menguasai ilmu pengetahuan pada saat ini. Dan kita juga tak boleh anti dengan segala yang sedang dilahirkan oleh barat. Pun kita tak lantas menelan mentah-mentah apa yang dibuahkan oleh barat. Selektif dan kritis adalah sikap yang tepat untuk menghadapi era pengetahuan sekarang ini.
Dan sebagai umat Islam, harusnya kita selalu memiliki keyakinan bahwa Islam adalah agama ilmu. Orang-orang Islam harus berilmu dan berpengatahuan. Kita bisa belajar dari masa keemasan Islam hingga era industri 4.0 sekarang ini. Bahwa kejayaan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat kesadaran akan literasi.
Bukankah sejak awal turunnya Islam kita sudah diajarkan untuk berliterasi, yakni dengan membaca?. Iqro’!. Bukankah banyak ayat Al-Qur’an yang berbunyi Afala ta’qilun, afala tatadabbarun, dan lain sejenisnya? Bukankah banyak ulama’ yang memiliki karya-karya luar biasa yang bisa kita pelajari hingga saat ini? Bukankah ulama’-ulama’ kita mengajarkan produktivitas melalui dunia literasi? Bukankah ulama’ kita mengajarkan kita untuk bersikap kritis dan selektif terhadap ilmu pengetahuan?.
Kita kenal dengan Imam Bukhari, ilmuwan hadits yang rela menempuh jarak ribuan kilo demi menyeleksi satu buah hadits. Padahal ada sekian juta hadits yang harus beliau seleksi. Sikap kritis dan selektif inilah yang harus kita teladani.
Selain Imam Bukhari, kita kenal juga dengan sosok Imam Nawawi. Adalah salah satu tokoh Islam yang mengajarkan kita untuk selalu produktif dengan ilmu pengetahuan. Dalam usia yang hanya 45 tahun, beliau berhasil menghasilkan karya-karya besar. Tak kurang dari 40 kitab besar dari berbagai bidang yang beliau tuliskan. Padahal kita tahu, pada zamannya dunia literasi tak semudah seperti sekarang.
Untuk itu, kesadaran sebagai Islam juga harus dibarengi dengan kesadaran literasi. Kesadaran bahwa Islam adalah agama yang penuh ilmu. Apalagi dengan dunia digital seperti sekarang ini. Alih-alih bisa memudahkan akses literasi kita, kita malah terlena dengan sisi lain dari kemudahan ini.
Umat Islam harus membaca dan belajar, umat Islam harus berkarya, umat Islam harus mempunyai sikap kritis dan selektif terhadap suatu fenomena.
Dan terakhir penulis ingin mengutip sya’ir dari KH. Wahid Hasyim
إذا فاتني يوم ولم أصتنع يدا # ولم أكتسب علما فما ذاك من عمري
“Tatkala waktuku habis tanpa karya dan pengetahuan, lantas apa makna umurku ini?”
Wallahu a’lamu.
Tidak ada komentar untuk "Islam dan Sikap Literasi"
Posting Komentar