Ulama' Vs Ulama'



Ulama’ iku musuhe ulama’, santri musuhe santri, pejabat musuhe pejabat

Pertama kali mendengar kalimat tersebut adalah ketika saya masih menimba ilmu di salah satu pesantren di daerah pantura. Kyai saya yang sedang menjelaskan babagan perbedaan para ulama’ dalam menetapkan hukum fiqih lantas menutup penjelasannya dengan kalimat “ulama kuwi musuhe ulama’. Santri musuhe santri, pejabat musuhe pejabat”. Saya yang ketika itu masih belum terlalu paham, lantas berpikiran bahwa kalimat tersebut konotasinya lebih cenderung kearah negatif, dan lebih cenderung kearah pertikaian dan perseteruan, baik antar ulama’, antar santri, maupun antar pejabat.

Namun, ternyata ada kesalahpahaman dalam memahami kalimat tersebut. Ya, awalnya memang saya ragu, karena menganggap bahwa kalimat tersebut konotasinya negatif, namun karena yang menyampaikan adalah kyai saya, lantas saya beranggapan lagi bahwa pasti ada makna lain di dalam kalimat tersebut dan sebuah ketidakmungkinan jika kyai saya mengajari sesuatu yang negatif.

Kalimat tersebut ketika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah “Ulama’ lawannya ulama’, santri lawannya santri, pejabat lawannya pejabat. Kalimat ini ternyata mempunyai makna yang sangat dalam jika kita mau dan mampu memahaminya dan merefleksikannya di realita zaman sekarang ini.

Kalimat tersebut mempunyai pemahaman bahwa yang menjadi lawan dari ulama’ adalah ulama’, bukan santri, pejabat, atau bahkan petinju. Yang menjadi lawan santri adalah santri, bukan ulama’. Begitu juga yang menjadi lawan dari pejabat adalah sesama pejabat. Jika ada santri melawan ulama’, jelas, tidak sepadan dan bahkan bisa jadi su’ul adab. Begitu juga, jika ada petinju disuruh tinju melawan pemain bola, jelas, pemain bola kemungkinan besar akan kalah. Mengapa? Karena tidak sepadan dan tidak seimbang.

Realita di zaman sekarang ini, apalagi dengan adanya kemudahan dalam berinteraksi melalui berbagai sosial media yang ada, semua orang bisa berdiskusi dengan siapapun, semua orang bisa berdebat kusir dengan siapapun, dan semua orang bisa saling mencaci dan memaki tanpa memandang kasta atau status sosialnya.

Di sosial media, seorang yang baru saja mempelajari agama Islam dapat seenaknya menyalahkan, bahkan mengkafirkan seorang ulama’ yang tentunya sudah mengenyam ilmu agama lebih lama. Seorang profesor dengan segala keilmuan yang dikuasainya, bisa jadi akan menjadi lawan debat dari seseorang yang bahkan belum mengenyam bangku kuliah sama sekali.

Inilah sebenarnya salah satu faktor terjadinya berbagai keributan-keributan yang ada di berbagai media sosial. Yakni ketidaksadaran diri akan keilmuan atau status sosial yang dimilikinya. Kita yang masih awam –sekalipun berbeda pandangan- harusnya selalu meraba diri kita sendiri, terus belajar dari para ulama’ dan guru, bukan malah menyalah-nyalahkan ulama’. Bahkan, kita yang sudah profesor sekalipun, ketika “ditantang” debat kusir tentang suatu masalah oleh seseorang yang bukan profesor, harusnya kita sadar diri, orang itu bukan lawan kita. Bukan dalam rangka menyombongkan diri, tapi lebih kepada menjernihkan suasana yang sudah sangat keruh seperti sekarang ini.

Ada salah satu maqolah Arab yang masyhur:
ترك الجواب على الجاهل جواب
“Tidak menjawab atas pertanyaan orang bodoh adalah sebuah jawaban.”

Jadi, kesadaran diri atas “siapa kita dan siapa yang seharusnya menjadi lawan diskusi kita” adalah salah satu bentuk usaha dalam meregangkan realita media sosial yang sudah sangat tegang sekali.

Untuk itu,tak heran jika kyai saya dulu menyampaikan “Ulama’ musuhe ulama’, dst.” Hanyalah dalam rangka mengajarkan untuk pandai-pandai sadar diri atau kalau dalam bahasa jawa pinter rumongso.

Ulama’ klasik sudah memberi contoh kepada kita tentang perbedaan pendapat, misalnya, Al-Kisa’i yang sering berdebat dalam masalah nahwu dengan Sibawaih. Keduanya adalah ulama’ nahwu, dan keduanya sering berbeda pendapat. Dan perbedaan itu adalah biasa. So, mari sadar diri, dan terus belajar.

Tidak ada komentar untuk "Ulama' Vs Ulama'"