Mengapa Tak Bahagia?



Jika dapat berbicara, kursi ini mungkin akan mengumpat kepadaku karena lagi-lagi pantatku yang mendudukinya. 
Sudah seminggu ini aku menghabiskan hari-hariku di kedai kopi kecil ini. kedai kopi yang sudah berdiri sejak 10 tahun yang lalu. Disamping kedai kopi ini, adalah sawah yang tidak begitu luas namun saat ini sedang hijau-hijaunya. Sekitar 20 meteran dari kedai kopi ini, diseberang sawah, adalah komplek perumahan permai.
Aku duduk tepat di sisi pinggir sawah, berhadapan langsung dengan hijau sawah kecil ini. suasana pagi ini relatif lengang. Pas jika aku gunakan untuk menulis puisi-puisi bucin. Namun aku tak bakat untuk itu. 
Aku juga bukan pecinta alam yang sedang menyesali berdirinya perumahan diseberang sawah itu. Karena memang dulunya komplek perumahan itu adalah hamparan sawah. Bukan, aku bukan aktifis pecinta alam.
Sudah sepekan aku merenungi hal yang sama. Di tempat yang sama. Dan dengan teman yang sama, secangkir kopi dan rokok. Aku sedang kesal dengan diriku sendiri. Aku menyesali kekalahanku melawan diriku sendiri. Jika bisa sejenak ruhku keluar dari tubuh dan mengumpati aku sendiri lalu balik lagi, mungkin sudah aku lakukan berkali-kali.
Kejadian itu, kejadian yang tak pernah kuduga, namun nyata adanya. Kejadian yang menguras air mata dan membuat luka. Kejadian yang akhirnya membungkam teori, bahwa laki-laki tak akan menangis. Ya, aku kalah dengan diriku sendiri. Dan tidak tau apa selanjutnya.
Mungkin keseharian ini lebih nyaman bagiku dari pada harus melangkahkan kaki keluar dari kedai kopi mungil ini, lalu harus menghadapi kenyataan yang menyebalkan. Hanya di kedai kopi mungil ini aku merasa menang. Menang melawan segala kecamuk pikiran yang menjijikkan ini.
Ditengah renungku yang bodoh ini, ada seorang laki-laki yang menghampiriku
“Boleh aku duduk sini, dik?” tanyanya
Laki-laki itu berusia sekitar 40-an tahun, 15 tahun lebih tua dari aku. Perawakannya kecil, dan terlihat seperti orang yang sedang melakukan perjalanan jauh. 
“silahkan, mas”
Dia mengambil posisi disampingku. Lalu menyulut sebatang rokok.
“Hidup memang terkadang kejam, tapi manusia harus menjalaninya”
Aku terhenyak, tiba-tiba ia berkata seperti itu kepadaku. Aku masih terdiam, menunggu penjelasan selanjutnya darinya.
“setiap manusia itu punya pilihan hidup sendiri, dik. Apalagi di usia sepertimu”
Aku masih tak bergeming, kusulut sebatang rokok lagi
“usia sepertimu, menentukan pilihan hidup sangat menentukan masa depanmu. Jadi, usahakan setiap pilihan dalam hidupmu, tak menyakiti dirimu sendiri, apalagi orang lain” lanjutnya.
Ingin ku beranikan bertanya tentang siapa dia dan darimana dan mau kemana.
“aku bukan siapa-siapa dik, aku hanya pengelana, hidupku hanya singgah dari satu warung kopi ke warung kopi yang lain.”
Aku terhenyak, karena dia tau apa maksudku. Aku masih mendengarkan.
“Hidup itu sebenarnya sederhana dik. Semakin sedikit yang kita punya, semakin kecil pula kemungkinan kita untuk kecewa”
Aku mengangguk menyetujui apa yang dikatakannya
“dan tentang pilihan hidup sebenarnya bisa dimulai hal yang sederhana. Misal, aku selalu memilih untuk membeli bensin eceran dari pada di SPBU langsung. Karena aku tau dik, penjual bensin eceran itu menjual hanya sekedar untuk menyambung nyawa. Bukan karena mencari kekayaan. Apakah dengan pilihan seperti itu, aku menyakiti diriku sendiri? Atau menyakiti penjual bensin eceran? Atau bahkan menyakiti bos SPBU itu? Tidak sama sekali, dik.”
Aku terhenyak lagi, aku memejamkan mata. Meresapi semua apa yang dikatakan oleh laki-laki disampingku ini. Bahwa ternyata aku manusia bodoh. Manusia yang tak pandai memilih padahal sekian pilihan telah disediakan. Kalaupun memilih, justru aku memilih hal yang membuat aku tersakiti. Betapa bodohnya diriku.
“Mungkin masalah itu bisa selesai hanya dengan kamu diamkan, tapi justru dirimu sendirilah tidak pernah selesai jika hanya diam saja.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan” akhirnya aku bernaikan diri untuk bertanya.
Laki-laki itu menyeruput kopinya. Lalu dia tampak mengehla nafas panjang.
“Luaskan hatimu, dik”
“Dengan cara?”
“Mari sama-sama kita cari tau jawaban dari pertanyaanmu barusan”
Aku melempar pandangan ke hamparan sawah ini.
“dik, masalah manusia itu sebenarnya sama ukurannya. Hanya keluasan wadah yang membedakannya. Wadah itu adalah hatimu. Aku tak pandai berdalil dengan ayat-ayat suci juga hadits. Yang aku tau, Tuhan tak akan membebani hambanya melebihi kemampuan hambanya.”
“Tapi aku merasa tak mampu menghadapinya, aku selalu jatuh jika teringat kejadian itu”
“kamu sendiri yang menyempitkan hatimu, dik.”
Aku memejamkan mati lagi, terasa semakin sesak dada ini. 
“Kamu berhak bahagia, dik. Sejak kecil bahkan sebelum kamu mengenal Tuhanmu sendiri, kamu bisa bahagia hanya dengan hal-hal yang sederhana. Lalu setelah kamu menginjak usia seperti sekarang, mengapa sulit sekali untukmu berbahagia. Mengapa harus kamu lupakan dulu kejadian itu untuk bisa membuatmu bahagia? Mengapa semakin dewasa seseorang kebahagiaan justru semakin sulit diraihnya?”
Aku terhenyak mendengarkannya.
“Tuhanmu lebih besar dari permasalahanmu, mengapa tak coba kamu serahkan kepada-Nya, lalu meluaskan hatimu”
Aku memandangnya, kali ini agak lekat, aku masih penasaran siapa dia sebenarnya.
Dia lalu melambaikan tangan ke salah satu pelayan kedai kopi ini
“mas, minta tolong buatin satu kopi lagi”
“baik, pak”
Ada yang janggal, kenapa pelayan itu sangat sopan sekali, layaknya sikap anak buah kepada bosnya. Aku masih memandanginya dengan pandangan bertanya-tanya. Belum sempat aku bertanya,
“aku pemilik kedai kopi ini, dik. Dan sudah 10 kedai kopi aku dirikan di kota ini. aku melihat kamu seminggu ini duduk di sini seperti menyimpan banyak masalah. hingga aku beranikan diri untuk mengajak kamu ngobrol”
Aku terbelalak. Segera aku meraih tangannya dan mencium tangannya.
“terimakasih pak, terimakasih” aku berbinar
Tak lama kemudian pelayan datang dengan membawa secangkir kopi.
“silahkan, dik. Aku lihat kopimu sudah habis. Silahkan diminum” laki-laki itu ternyata memesanka kopi buat aku. 
“terimakasih, pak.” Segera kusruput kopi yang masih panas itu.

Sedikit aku lebih lega.

Allahumma Sholli ‘ala sayyidina Muhammad.

Tidak ada komentar untuk "Mengapa Tak Bahagia? "