Iman itu Bercabang-cabang
Sebuah Pengantar
Ada
tiga hal yang menjadi inti dari ajaran agama Allah, yakni Iman, Islam, dan
Ihsan. Ketiga hal tersebut harus dipahami sepenuhnya oleh setiap Muslim.
Pemaknaan yang benar terhadap ketiga hal tersebut menjadi penting agar tujuan
kehidupan dapat tercapai dengan sebaik-baiknya.
Dari
ketiga hal tersebut, saya meyakini, bahwa Iman menjadi hal yang paling mendasar
dari kedua hal yang lainnya. Tanpa iman, Islam seseorang tak akan bermakna.
Tanpa dilandasi Iman, seseorang akan kesulitan menjalankan ihsan.
Momentum
Ramadan tahun ini saya menemukan kitab yang berada di rak buku saya. Kitab ini
sebelumnya pernah saya kaji semasa masih duduk di tingkat aliyah. Kitab itu berjudul
Qomi’ut Thugyan (قامع الطغيان). Kitab ini
ditulis oleh Syekh Nawawi al-bantani. Kitab ini merupakan penjelasan dari kitab
منظومة شعب
الإيمان karya Syekh
Zainuddin al-Malibary yang juga menjadi penulis kitab Fath al-Mu’in yang
masyhur itu. Kitab منظومة شعب الإيمان merupakan
kumpulan syi’ir/nadhoman berisi tentang cabang-cabang Iman.
Ramadan
ini saya ingin mengkaji lagi kitab tersebut. Kitab tersebut menarik karena
berusaha menjelaskan cabang-cabang Iman yang berjumlah 77. Dari kitab tersebut
saya memahami bahwa Iman itu tidak hanya urusan hamba dengan Allah saja.
Memaknai Iman harus secara seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Hubungan kita
dengan sesama manusia, sesama makhluk juga merupakan implementasi dari Iman itu
sendiri.
Dari
hasil telaah tersebut saya berusaha menuliskannya di blog pribadi saya
setidaknya sehari sekali. Sehingga diharapkan akhir Ramadan nanti saya berhasil
menelaah kembali kitab Qomi’ut Thughyan ini sampai selesai.
Untuk
itu, saya memulai menuliskan hasil telaah saya dengan mengajak pembaca untuk
menghadiahkan surat al-fatihah kepada kedua penyusun kitab tersebut.
Al-fatihah...
Iman itu bisa Bertambah dan berkurang
الحمد لله الذي قد صيّرا # إيمان شخص ذا
شُعَب ف تُتَمَّمُ
Bait
pertama ini menjelaskan bahwa Muallif (penyusun) kitab منظومة شعب الإيمان yakni Syekh Zainuddin al-Malibary memulai menuliskan kitab
tersebut dengan mengucapkan lafadz الحمد لله sebagai rasa syukur kepada Allah. lafadz الحمد لله memiliki arti bahwa semua pujian adalah milik Allah. Jadi,
apabila seorang manusia mendapat pujian karena telah mencapai prestasi tertentu
misalnya, sejatinya pujian tersebut adalah milik Allah, karena sebagai hamba
sudah seharusnya kita meyakini bahwa hidup kita sepenuhnya telah ditentukan
oleh Allah. Jadi, sungguh tak elok ketika manusia merasa jumawa atas pujian
yang dicapainya tanpa memiliki rasa bersyukur kepada Allah.
Bait
ini juga menjelaskan bahwa Allah telah menjadikan Iman seseorang itu
bercabang-cabang. Keimanan tidak cukup apabila hanya dimaknai dengan “percaya”
saja tanpa implementasi konkrit. Apabila cabang-cabang tersebut dapat kita
lakukan, maka Iman kita akan bertambah. Sebaliknya apabila kita meninggalkan
cabang-cabang tersebut, maka Iman kita akan berkurang. Itulah Iman manusia.
Dapat bertambah dan berkurang.
Namun
ada hal yang perlu diperhatikan, bahwa Iman secara harfiah yang bermakna
‘pembenaran dan kepercayaan’ kepada Allah itu tidak boleh sedikitpun berkurang.
Karena jika Iman dengan makna tersebut berkurang, maka ia tidak lagi menjadi
“pembenaran dan kepercayaan” tetapi justru menjadi sebuah keragu-raguan yang
akhirnya dapat membuat Iman kita tidak sah. Na’udzubillah min dzalik...
Bersambung...
Tidak ada komentar untuk "Iman itu Bercabang-cabang"
Posting Komentar